Iklan

https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEhrD7yx-DdJE6SBDqIT7yYDbFn8AyQ1qCVF6DMmDJMwOGKECtRYGVfcKtttbMd0Ot8qhWSfdv-UHaStsH7PUTdAba0tAq0_Y1z3B7Su3LM7_IUY9t2IvXt5Jn4w6_VGCJTb3iW3KBzB6745tc_-1sTHRX9mW1mAUjYRkq4u8z9OIwDjeJDLBY-MoRRZ=s1600

Iklan

https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEhrD7yx-DdJE6SBDqIT7yYDbFn8AyQ1qCVF6DMmDJMwOGKECtRYGVfcKtttbMd0Ot8qhWSfdv-UHaStsH7PUTdAba0tAq0_Y1z3B7Su3LM7_IUY9t2IvXt5Jn4w6_VGCJTb3iW3KBzB6745tc_-1sTHRX9mW1mAUjYRkq4u8z9OIwDjeJDLBY-MoRRZ=s1600
,

Iklan

Refleksi Pemilu 2024 versi IRPD: Ada Banyak Pelanggaran yang dilakukan KPU di Semua Level

Wednesday, March 13, 2024, March 13, 2024 WIB Last Updated 2024-03-13T20:05:21Z

Tahap penghitungan suara hasil Pemilu dan kewajiban mengisi data ke aplikasi Sirekap yang dianggap menyulitkan dan menambah beban KPPS sehingga rentan menimbulkan berbagai kesalahan.



DNN, SIDOARJO – Selain tentang Penyelenggara Pemilu, founder Institute of Research and Public Development (IRPD) Sidoarjo dan juga Pemantau Pemilu Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Jatim, Nanang Haromain juga membuat catatan khusus tentang sistem dan regulasi Pemilu serta teknis kepemiluan. 


Dalam ‘Catatan Kritis Pelaksanaan Pemilu 2024 di Sidoarjo’ yang ditulisnya dan dikirim ke redaksi pada Selasa (12/03/2024) kemarin, Nanang mengatakan rakyat Indonesia sangat berharap pada pada pelaksanaan pesta demokrasi keenam kalinya yang digelar usai reformasi 1998 lalu. 


“Harapan paling besar adalah konsolidasi demokrasi electoral Indonesia bisa dicapai di Pemilu 2024 ini. Sistem penyelenggaraan pemilu diharapkan sudah mapan dan stabil. Penyelenggara pemilu diharapkan semakin profesional dan mandiri. Tata kelola dan manajemen pemilu juga diharapkan dijalankan secara terbuka, pasti, transparan, dan partisipatif,” ujarnya. 


Namun, seluruh harapan itu itu belum dapat terwujud di Pemilu yang digelar 14 Pebruari 2024 lalu. Kondisi buruk secara nasional ini juga berimbas ke daerah. Kondisi penyelenggaraan Pemilu 2024 di Sidoarjo akhirnya juga penuh dengan kontroversi dan banyak masalah. 


Mantan komisioner KPU Sidoarjo itu menandaskan setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu di Indonesia dilaksanakan melalui aturan UU Pemilu hingga aturan teknis seperti Peraturan KPU dan Peraturan Bawaslu.


“Penyelenggara Pemilu di daerah hanya melaksanakan aturan dan regulasi yang diputuskan di pusat. Tahapan awal yang sudah menimbulkan kontroversi adalah dugaan kecurangan dan manipulasi data pada tahapan verifikasi faktual pendaftaran partai politik menjadi peserta pemilu,” tambah pria berambut putih itu. 


Menurutnya, orkestrasi pelanggaran tersebut dilakukan secara sistematis karena bukan hanya KPU RI yang terlibat, melainkan juga KPU di level propinsi serta kabupaten/kota. Mereka dituding telah saling berkoordinasi untuk meloloskan partai tertentu. Dugaan ini terbukti sehingga beberapa teradu diberikan sanksi peringatan keras dan pemberhentian oleh DKPP dalam Putusan DKPP No. 10-PKE-DKPP/I/2023.

 

Judicial Review yang diajukan oleh beberapa kader partai politik terkait sistem pemilu proporsional terbuka ke Mahkamah Konstitusi, terbilang juga cukup mengejutkan dan berimbas ke daerah. Apalagi di judicial review ini diajukan ditengah tahapan pemilu yang sudah mulai berjalan. 


Pada akhirnya, setelah menjalani rangkaian persidangan yang sangat panjang, serta memantik keriuhan ditengah tahapan penyelenggaraan pemilu, Mahkamah menolak judicial review ini. Termasuk Inkonsistensi KPU dalam menindaklanjuti Putusan MA terkait ketentuan Pasal 8 ayat (2) huruf a Peraturan KPU No. 10 Tahun 2023 tentang penghitungan 30% (tiga puluh persen) jumlah Bakal Calon perempuan.


Sedangkan terkait pelaksanaan teknis kepemiluan, Nanang menyebut logistik pemilu merupakan aspek krusial dalam penyelenggaraan Pemilu. Walaupun sering dianggap persoalan remeh, persoalan logistik pemilu menjadi penentu penyelenggaraan yang profesional, demokratis dan berintegritas. 


Menurutnya, kunci dari Pemilu berkualitas dimulai dari hasil Pemilu di TPS. Hal ini disebabkan ada lima pemilu yang berbeda dalam satu hari penyelenggaraan pemungutan dan penghitungan. Diantaranya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota. 


Karena itu ada lima jenis surat dan kotak suara suara yang berbeda, serta setidaknya 27 formulir di TPS. Dengan jumlah petugas KPPS dan petugas ad hoc lainnya yang terbatas, manajemen logistik pemilu akan semakin rumit. 


“Sebab, manajemen logistik bukan hanya sebatas pengadaan, melainkan juga distribusi, mengawasi perpindahan, hingga menjaga logistik dari distribusi sampai hari H pemungutan suara. Hal ini turut menyebabkan tingginya beban kerja dan kelelahan yang dialami petugas,” imbuh Nanang. 


Kasus yang muncul di Sidoarjo adalah tertukarnya surat suara di daerah pemilihan (Dapil) yang berbeda. Yang harusnya surat suara tingkat DPRD kabupaten untuk Dapil 3 malah munculnya di Dapil 4 begitu pula sebaliknya. 


Kekeliruan ini muncul di beberapa TPS. Termasuk yang ada di Jabon (Dapil 2). Ada beberapa surat suara tingkat DPRD Provinsi dari Dapil Malang Raya yang masuk ke Dapil 2 Jawa Timur Sidoarjo. Kasus yang muncul terkait logistik lainnya adalah adanya kekurangan dan kelebihan surat suara di TPS. Sementara itu, kekurangan kertas plano di beberapa TPS juga menjadi bahasan yang perlu dievaluasi. 


Rumitnya persoalan bukan menjadi alasan. Kecermatan dan ketelitian harus lebih menjadi perhatian untuk KPU Sidoarjo. Terdapat beberapa persoalan yang krusial untuk dideteksi, misalnya potensi kerumitan Pilkada terkait pengadaan dan distribusi logistik pada Pilkada mengingat semua beban ada KPU di tingkat Kabupaten. Menurut Nanang, ini merupakan beban kerja penyelenggaraan yang amat rumit dan berat. 


Besarnya jumlah logistik yang dipersiapkan akan berdampak pada manajemen logistik pemilu di tingkat TPS. Karenanya, tiap petugas dan pengawas harus memahami perannya masing masing. Dalam hal ini, titik krusial pertama adalah pada distribusi logistik yang bertingkat dari sekretariat KPU hingga ke petugas ad hoc di kecamatan, kelurahan, dan TPS. 


Dalam pendistribusian logistik ke petugas ad hoc, penting untuk memperhatikan beberapa hal seperti pengecekan jumlah, peruntukkan, jenis logistik, dan keamanan pengemasan. Selain itu, KPU Kabupaten juga harus berkoordinasi dengan petugas ad hoc untuk rencana pengiriman dan menyiapkan berita acara serah terima, serta alokasi waktu pendistribusian di tiap tingkat. 


“Menghitung waktu distribusi juga penting, sebab ketika ada kerusakan surat suara, pengadaan logistik baru akan memakan waktu lama. Di Pilkada nanti, juga di Pemilu-Pemilu selanjutnya jangan sampai muncul lagi persoalan harus begadang menunggu kotak yang dikirim pada tengah malam,” katanya lagi.


Dalam proses penghitungan suara, Nanang menyarankan agar KPU memastikan kembali aplikasi Sirekap agar mudah digunakan oleh KPPS. Beban kerja KPPS di hari pemungutan dan penghitungan suara sungguhlah berat. Kewajiban mengisi data pada Sirekap menambah beban KPPS. 


“Oleh karena itu, kedepan KPU perlu memastikan Sirekap mudah digunakan oleh KPPS, dengan menyediakan panduan penggunaan yang mudah dipahami, baik dalam bentuk buku saku maupun video. Selain itu KPU juga harus mengalokasikan waktu dan anggaran untuk menyelenggarakan beberapa kali bimtek (bimbingan teknis-red),” pungkasnya.(pram/sein)

Iklan

https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEiHrXgUblR7J64GKvwk21F1_y_jAnosYVe4N8WJS1ygEoiaQHoD6uC6hOFD7Lj7Nhylelg-_3ysD-haxn-VkxpCbGdWZuisXKGv8drTp8Tge5dE3Ar27KflCOTyCko8Gjr6zU6MGCjNEmRn8hoeQR8-XEVX3C3nRJbjghKk71eIgP6EJkJhm4jEp6V_=s1280

CV DELTA TOUR

https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEh5qCd9AeFn-lyqVbBcH8rTim07Ay_xbYd6AiaVSQnXSY57S_XnKzbeyqlcuFXemvK5Q0yU-umA4FaH8ThX1Gut8vyjVviRQMZvT9HCrdv9nnzHn8MimtwNQpLxE4onUfobXs_xamjsooT5dxxba72AfCEFlBwXUigoIlRAEIT4stnjHsqKI4Gsl0sa=s1280