Iklan

https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEhrD7yx-DdJE6SBDqIT7yYDbFn8AyQ1qCVF6DMmDJMwOGKECtRYGVfcKtttbMd0Ot8qhWSfdv-UHaStsH7PUTdAba0tAq0_Y1z3B7Su3LM7_IUY9t2IvXt5Jn4w6_VGCJTb3iW3KBzB6745tc_-1sTHRX9mW1mAUjYRkq4u8z9OIwDjeJDLBY-MoRRZ=s1600

Iklan

https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEhrD7yx-DdJE6SBDqIT7yYDbFn8AyQ1qCVF6DMmDJMwOGKECtRYGVfcKtttbMd0Ot8qhWSfdv-UHaStsH7PUTdAba0tAq0_Y1z3B7Su3LM7_IUY9t2IvXt5Jn4w6_VGCJTb3iW3KBzB6745tc_-1sTHRX9mW1mAUjYRkq4u8z9OIwDjeJDLBY-MoRRZ=s1600
,

Iklan

Opini : Tentang Sarip Tambak Oso, Cari Faktanya Bukan Kuburannya

Wednesday, August 24, 2022, August 24, 2022 WIB Last Updated 2022-08-24T11:01:26Z

 


Oleh: Jaludieko Pramono

Sarip Tambak Oso adalah nama yang melegenda di Kabupaten Sidoarjo. Dan sebagai seorang legenda, nama itu bergerak liar diantara ruang fakta dan mitos, antara data sejarah yang tertulis dan kisah rakyat yang menyebar dari mulut ke mulut.


Tapi diantara kesimpang-siuran tersebut, satu hal yang bisa dipastikan, bahwa Sarip Tambak Oso adalah sosok historis. Ia adalah seorang pribadi yang benar-benar hidup di rentang waktu akhir abad ke 19 hingga awal abad 20.


Hal itu dibuktikan dengan adanya berita yang termuat di koran-koran lokal di masa kolonial Belanda. Tulisan-tulisan tentang Sarip tersurat di koran The Lokomotiv tanggal 23 Agustus 1905, Het Nieuws Van Den Nederlandsch-Indie" tanggal 18 Mei 1908 dan Het Vaderland tanggal 4 Maret 1912.


Koran pertama mendiskripsikan Sarip sebagai sosok yang kejam. Ia adalah residivis sekaligus buron yang berhasil lolos dari beberapa rumah tahanan. Bahkan dengan jelas koran ini menyebut Sarip telah melakukan perampokan.


Dalam penulisannya itu, The Locomotiv menyebut Sarip telah membunuh Lurah Tambakrejo dengan cara menusuknya beberapa kali. Selanjutnya ia dikabarkan melarikan diri yang diperkirakan ke sebuah kawasan yang disebut Tambaksari.


Usai kejadian tu, beberapa lurah di distrik Gedangan bersepakat untuk menangkap Sarip. Bahkan mereka menjanjikan hadiah sebesar 80 gulden bagi siapa saja yang berhasil menangkap orang yang disebut-sebut telah membuat desa-desa di wilayah itu menjadi tidak aman.


Di akhir berita, Sarip dikisahkan berhasil ditangkap atas jasa “seorang pribumi yang juga dikenal sebagai bajingan, dan juga sering bepergian dengan Sarip”. Cerita penangkapan itu diwarnai dengan perkelahian.


Sarip yang berhasil dibekuk hidup-hidup, kemudian diserahkan pada lurah. Berikutnya ia dikirim ke asisten wedono yang membawahi distrik Gedangan untuk kembali dipenjarakan. Namun tak disebutkan dimana ia dibui.


Nama Sarip kembali muncul di pemberitaan Het Nieuws Van Den Nederlandsch-Indie" tanggal 18 Mei 1908. Dari tulisannya, rupanya koran ini menuliskan kembali berita yang sebelumnya sudah termuat di koran Soerabaijasch Handelsblad.


Dan lagi-lagi, kisah minorlah yang tersaji tentang sosok ini. Ia dikabarkan kembali melakukan aksi pembunuhan terhadap seseorang bernama Brahim di depan rumah Raden Miti di kawasan Sepanjang. Selain itu ia juga melukai seorang lainnya bernama Dolah. Kedua korban itu diidentiikasikan berasal dari Desa Ngeni, Kecamatan Gedangan.


Yang menarik, koran ini juga menyebut Sarip sebagai warga desa Tambakredjo, Kecamatan Sedati. Namun ia malah ditulis sebagai seorang pekerja paksa pengguna narkoba dari Padang. Sarip juga didiskripsikan sebagai buronan polisi yang sulit ditemukan karena kepala kampung yang malas.


Kisah di koran ini bermula dari seorang perempuan cantik bernama Marmi. Perempuan itu pergi bersama dengan dua orang lelaki tadi dengan menaiki dokar. Saat dokar melintas di kawasan Sepanjang, mereka bertemu dengan Sarip.


Disana mereka sempat cekcok. Sarip memukul Marmi yang disebut tidak setia karena ia tak menemukan perempuan itu di rumah. Tapi Marmi berusaha membela diri. Ia mengaku dipaksa oleh Brahim dan diancam akan dibunuh jika tak mau mengikutinya.


“Akibatnya, Brahim dan Sarip pun bertarung. Yang pertama dipersenjatai dengan tombak, yang lainnya dengan golok. Brahim kalah dan menjadi mayat. Doelah dipukul.” Begitu terjemahan bebas yang dilakukan Bony Suwandi, seorang pegiat sejarah Sidoarjo sebagaimana dikutip dari facebook Sidoarjo Masa Kuno.


Setelah melakukan aksinya itu, Sarip disebutkan pergi dengan tenang naik dokar ke desanya. Aparat kepolisian kolonial dari Taman dan Sepanjang pun memburu Sarip. Mereka menggerebek Sarip di tempat persembunyiannya. Namun baru beberapa jam kemudian Sarip berhasil ditangkap di rumahnya oleh wedono Sedati. 


Akhir hidup Sarip pun terdokumentasikan melalui pemberitaan di koran Het Vaderland tanggal 4 Maret 1912. Lagi-lagi, koran ini juga mengutip berita dari surat kabar Soerabaijasch Handelsblad. Dituliskan disana, “perampok Sarip yang bersangkutan ditembak mati oleh polisi yang mengejarnya.”


Warga desa Tambak Reso itu disebut sempat kabur dari penjara di Surabaya. Selama masa pelarian, ia diperkirakan berkeliaran di desa Tambaksari, Tambakrane, Sumur, Gedong Asri, Rungkut, Menangal dan Rungkut Tengah.


Bony menyebutkan, dalam berita itu dijelaskan, saat itu daerah Rungkut Tengah dulu terkenal sebagai pusat rumah judi dadu yang terus buka dari siang hingga malam hingga dijuluki Monte Carlo mini. Disebut juga, daerah Rungkut Tengah di masa itu berada di dekat pantai.


Pada 30 Januari lalu, Wedono menerima laporan mata-mata dari Gedangan bahwa Sarip berada di rumah saudaranya,  Marup di desa Tambak Reso. Keesokan harinya, petugas kepolisian menggerebek rumah itu.


Marup disebut sempat melakukan perlawanan dan berusaha menghalang-halangi usaha polisi. Setelah beberapa saat akhirnya polisi berhasil masuk ke dalam rumah itu dan melakukan penggeledahan, namun Sarip tak ditemukan.


Lalu seorang polisi menemukan jalan setapak baru menuju ke keris di belakang rumah Marup. Ia memperkirakan Sarip melarikan diri melalui rawa. Polisi pun mengejar Sarip hingga ke tepi sungai. Saat melihat adanya perahu yang tertambat disana, merekapun meyakini buruannya masih berada di wilayah desa Tambak Rejo.


Pukul 11 pagi, polisi melihat Sarip yang memegang senjata berupa pisau panjang melengkung, sebenarnya semacam pedang (telangkas). Ia memburu seorang petugas polisi. Petugas itu berusaha kabur hingga ia bertemu dengan putra wedono yang dikawal seorang prajurit Beaumont. 


Petugas itu membidik Sarip dari jarak 25 meter. Meski dada kanannya tertembak, Sarip tetap berusaha melarikan diri. Polisi pun memburunya hingga ke kawasan Tebel. Berikutnya, atas perintah Wedono, seorang prajurit kembali menembak Sarip dan mengenai dada kirinya. Sarip pun tewas dan jenazahnya dibawa ke Wedono Gedangan. 


Di bagian akhir, koran itu menulis, “seluruh penduduk asli dari desa-desa tetangga mengerumuni penguasa teror yang terbunuh itu. Nanti jenazah dibawa ke Sidoardjo, supaya bupati bisa melihat kematian subjek berbahaya ini.”


Inilah data-data sejarah yang tertulis tentang Sarip, sang legenda dari Tambak Reso. Koran-koran Belanda mengidentifikasinya sebagai seorang perampok, pembunuh, pengguna narkoba, pembuat onar yang kerap keluar masuk penjara. Jelas ini sangat tidak nyaman, tapi setidaknya itulah fakta yang tertulis sebagai data historis paling akurat. 


Terlepas dari pemberitaan di koran-koran itu, kisah rakyat yang beredar justru membuat identifikasi yang berbeda. Sarip justru ditempatkan sebagai sosok yang berani melawan pemerintah kolonial Belanda. 


Setidaknya itu yang bisa kita tangkap dari penggambaran Sarip melalui lakon-lakon pementasan Ludruk. Dari mana landasan kisahnya, tentu saja tidak jelas, hanya dari mulut ke mulut saja yang bergerak melintasi masa. 


Namun dalam kisah-kisah itu diksi peristiwa heroismenya justru sangat minim. Paling hanya saat ia membunuh Lurah Tambak Rejo, yang dianggap sebagai antek penjajah, lantaran telah berbuat kasar dan kejam terhadap ibu Sarip. Selebihnya nyaris tidak ada, kecuali dari ujaran-ujaran sang tokoh saja dalam scene-scene selanjutnya.


Ketokohan Sarip bagi warga Desa Tambak Reso atau Tambak Rejo mungkin timbul dari perilakunya yang dimitoskan sebagai Robin Hood Van Sidoarjo. Yakni seorang pencuri yang baik hati karena suka membagi-bagikan hasil jarahannya pada orang-orang di sekitarnya.


Namun aksi patriotismenya yang bertujuan memerangi penjajahan di wilayahnya sepertinya masih perlu diuji lebih lanjut. Karena itu para pegiat sejarah, khususnya di Kabupaten Sidoarjo harus lebih tekun lagi berburu data historis tersebut ketimbang sibuk mencari dimana sejatinya makam Sarip Tambak Oso yang melegenda itu. 


Jika kita tidak terlalu percaya dengan pemberitaan koran-koran berbahasa Belanda di jaman itu yang dinilai terlalu tendensius ke kepentingan pemerintah kolonial, setidaknya kita bisa mencari cerita tentang Sarip dari koran-koran Bumiputera yang terbit di awal abad ke 20.


Atau bisa juga data dari koran berbahasa Belanda lainnya, namun yang menyebut Sarip sebagai seorang pemberontak atau ia melakukan aksi-aksi yang dinilai sebagai bentuk pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda sehingga tak perlu ragu lagi untuk menjadikan Sarip sebagai local Hero Sidoarjo.*

Iklan

https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEiHrXgUblR7J64GKvwk21F1_y_jAnosYVe4N8WJS1ygEoiaQHoD6uC6hOFD7Lj7Nhylelg-_3ysD-haxn-VkxpCbGdWZuisXKGv8drTp8Tge5dE3Ar27KflCOTyCko8Gjr6zU6MGCjNEmRn8hoeQR8-XEVX3C3nRJbjghKk71eIgP6EJkJhm4jEp6V_=s1280

CV DELTA TOUR

https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEh5qCd9AeFn-lyqVbBcH8rTim07Ay_xbYd6AiaVSQnXSY57S_XnKzbeyqlcuFXemvK5Q0yU-umA4FaH8ThX1Gut8vyjVviRQMZvT9HCrdv9nnzHn8MimtwNQpLxE4onUfobXs_xamjsooT5dxxba72AfCEFlBwXUigoIlRAEIT4stnjHsqKI4Gsl0sa=s1280