DNN, SIDOARJO – “Seperti yang sudah dicontohkan Pemkab Sidoarjo, ayo sekarang kita bareng-bareng ngemplang iuran BPJS. Toh juga tetap mendapatkan pelayanan sebagaimana biasanya dan juga tidak didenda.”
Pernyataan itu disampaikan Sekretaris Lembaga Perlindungan Konsumen Republik Indonesia (LPK-RI) Sidoarjo, Sujani S.Sos yang dihubungi melalui WA-nya, Kamis (04/11/2021) pagi tadi.
Menurutnya semua peserta BPJS Kesehatan seharusnya mendapatkan layanan yang sama. Baik mereka yang berstatus mandiri, penerima upah yang iurannya yang dibayar perusahaan tempatnya bekerja maupun Pemkab Sidoarjo yang memberikan bantuan iuran bagi warganya yang tidak mampu.
Karena itu, jika BPJS menerapkan sanksi berupa pembekuan layanan dan denda administratif bagi peserta mandiri atau penerima upah yang menunggak iuran rutin bulanannya, maka hal serupa juga harus dilakukan terhadap Pemkab yang menunggak iuran hingga empat bulan senilai Rp 48,8 Miliar.
“Jadi, dalam posisi sama-sama menunggak, kalau Pemkab bisa mendapatkan kebijakan yang begitu lentur, kenapa aturannya begitu kaku untuk peserta mandiri. Mereka juga punya alasan kalau sampai nunggak,” ujar Sujani dengan tegas.
Dari sisi Pemkab sendiri, pria asal Sumput itu menyebut institusi pemerintah tersebut telah memberikan contoh yang tidak baik pada warganya dalam hal ketaatan memenuhi kewajibannya dengan pihak lain, dalam hal ini adalah BPJS Kesehatan.
Pernyataan senada disampaikan Ketua BPJS Watch Jatim, Arief Supriyono yang dihubungi terpisah. Ia menyatakan mestinya tagihan iuran itu tetap dibayar secara rutin setiap bulannya sekalipun masih ada data kepesertaan yang diverifikasi dan divalidasi ulang.
“Khan ada mekanisme pengembalian dana ke kas Pemkab Sidoarjo jika nantinya memang ada kelebihan pembayaran setiap bulannya. Tapi yang terpenting cash flow BPJS Kesehatan bisa tetap lancar,” imbuhnya.
Arief menambahkan, sebagai perusahan penyedian jasa layanan jaminan kesehatan, BPJS kesehatan punya beban yang cukup berat. Disatu sisi ia harus menangani pesertanya yang menunggak iuran bulanan.
Data yang ada padanya menyebutkan, besaran tunggakan peserta non PBI di kantor cabang BPJS Sidoarjo hingga akhir Oktober lalu sudah mencapai Rp Rp. 140.265.285.293. Jika ditambah dengan tunggakan Pemkab, maka nilai totalnya mencapai Rp 188 Miliar.
Selain itu, imbuh Arief, BPJS Kesehatan Sidoarjo juga harus tetap bertanggungjawab pada pembayaran jasa layanan kesehatan yang sudah diberikan vendor-vendornya.
“Bukan hanya rumah sakit dan fasilitas kesehatan partikelir saja, bahkan juga punya plat merah. Untuk Puskesmas saja, BPJS Kesehatan Sidoarjo sudah harus membayar kapitasi sebesar Rp 6 Miliar per bulan atau sekitar Rp Rp 70 Miliar per tahun. Itu belum untuk RSUD yang berdasarkan klaim,” tambah Arief.
Jika kemudian BPJS sampai tak bisa memenuhi kewajibannya itu, maka tidaklah salah jika vendor-vendor itu menghentikan jasa layanannya pada masyarakat. “Coba bayangkan bagaimana nasib warga yang harus menjalani haemodialisis secara rutin, juga kemotherapy atau penanganan penyakit degeneratif lainnya,” pungkas Arief.(pramono/hans)
