DNN, SIDOARJO – Tindak OTT KPK dalam kasus pemotongan dana insentif pegawai Badan Pengelolaan Pajak Daerah (BPPD) Sidoarjo menjadi bukti nyata gagalnya pimpinan Pemkab Sidoarjo membentuk Good Governance and Clean Government atau pemerintahan yang baik dan bersih.
Apalagi, dalam rilisnya beberapa hari setelah OTT tersebut, salah satu komisioner KPK mengatakan sebagian dari dana haram yang dikumpulkan tersangka Siska Wati itu dialokasikan untuk Kepala BPPD, Ari Suryono dan Bupati Sidoarjo, Ahmad Muhdlor Ali.
“Bagi saya sudah jelas. Mohon maaf KPK berulangkali menyebut nama bupati Sidoarjo dalam kasus pemotongan insentif dana ASN itu meski sampai hari ini statusnya masih sebagai saksi,” ujar Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (Presbem) Delta, Aditya yang ditemui di sela-sela acara Buka Puasa Bersama di salah satu rumah makan di Sidoarjo, Kamis (29/03/2024) sore tadi.
Menariknya lagi, dalam OTT yang dilakukan pada 25 Januari 2024, KPK gagal menjaring Bupati Muhdlor dengan dalih tidak diketahui keberadaannya. Namun beberapa hari kemudian, tepatnya pada 1 Pebruari, ia beserta seluruh keluarga besar Ponpes Bumi Sholawat tampil di acara kampanye Capres Prabowo-Gibran. "Saya juga tidak perlu menjelaskan secara detail, warga Sidoarjo tentunya juga sudah tahu soal itu,” katanya.
Namun terlepas dari keterlibatan bupati dalam kasus ini, namun seharusnya pimpinan daerah melakukan fungsi kontrol dan pengawasan terhadap kinerja aparatur yang berada di bawah otoritasnya, termasuk BPPD.
Menurut Aditya, dalam hal ini Bupati dan juga Wakil Bupati Sidoarjo harus melaksanakan prinsip-prinsip akuntabilitas dan pengelolaan sumber daya secara efisien dalam menjalankan fungsinya melalui institusi formal maupun informal guna membentuk Good Governance and Clean Government.
“Diantaranya sistem pengelolaan keuangan yang efektif, efisien, transparan dan akuntabel. Namun sejauh ini saya melihat rezim ini hanya fokus pada pembangunan infrastruktur terutama proyek betonisasi jalan,” ujar mahasiswa semester akhir di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) itu.
Dari fakta inilah, Aditya melihat tidak adanya program reformasi birokrasi di lingkungan Pemkab Sidoarjo sehingga sampai terjadi beberapa kasus korupsi yang kini tengah dalam proses penanganan Aparat Penegak Hukum (APH), termasuk perkara yang ditangani KPK tersebut.
“Namun yang menarik, dalam rilisnya KPK sama sekali tidak menyebut nama wakil bupati dalam kasus ini. Jadi kemungkinannya, bisa jadi dalam hal ini wakil bupati memang bersih atau sama sekali tidak dilibatkan dalam berbagai kebijakan yang dibuat,” kata Aditya lagi
Fakta itupun menjadi bahan telaah BEM Delta. Para mahasiswa melihat adanya ketidak harmonisan antara bupati dan wakil bupati. Indikasinya adalah jarang atau bahkan tak pernah dihadirkannya Wabup Sidoarjo dalam beberapa kegiatan seremonial, salah satunya di acara pelantikan pejabat daerah.
"Kami mahasiswa Sidoarjo melihat seperti ada yang tersingkirkan atau ditinggalkan. Nah kalau harmonisasi antara kedua pimpinan daerah ini saja sudah ada masalah, terus bagaimana bisa mengatur langkah bersama seluruh ASN di lingkungan Pemkab Sidoarjo,” tandas Aditya.(sein/pram)
