Nanang Haromain, Peneliti IRPD Sidoarjo
DNN, SIDOARJO – Lima bulan jelang pemungutan suara, konstelasi politik di Sidoarjo kian dihangatkan dengan berbagai strategi yang dimainkan para bakal calon anggota legislatif (bacaleg) untuk mulai menghimpun dukungan masyarakat.
Termasuk dugaan pemanfaatan program pemerintah seperti Kartu Usaha Perempuan Mandiri (KURMA) sebagai komoditas politik. Untuk mencuri suara pemilih di ajang kontestasi itu, keterlibatan dari berbagai pihak juga menjadi kunci kemenangan yang bakal diraih.
“Bahkan beberapa petahana dan calon yang dekat dengan kekuasaanpun tidak segan-segan untuk menyelewengkan sumber daya anggaran dan birokrasi untuk memenangkan persaingan,” jelas Peneliti Institue Of Research and Public Development (IRPD), Nanang Haromain yang ditemui di kantor sekretariatnya, sabtu (16/09/2023) sore tadi.
Menurutnya, sejak pemilu pertama tahun 1955 lalu sampai sekarang, praktek penyalahgunaan wewenang dan kekuasan untuk kepentingan politik praktis marak dilakukan oleh pemegang kekuasaan dan orang-orang yang berada di lingkarannya.
Nanang menegaskan, munculnya kasus Kurma ini menambah cacatan minor pelaksanaan Pemilu 2024 di Sidoarjo, setelah sebelumnya muncul isu indikasi keterlibatan ASN dan penyelenggara Pemilu untuk kepentingan caleg tertentu.
“Diendorsed-nya beberapa calon legislatif dalam setiap program pemerintahan Kabupaten Sidoarjo misalnya dalam program peningkatan kapasitas lembaga, pencairan bantuan atau insentif kelompok masyarakat juga menjadi bukti terjadinya penyalagunaan kekuasaan itu,” tandas mantan komisioner KPU Sidoarjo tersebut.
Mengutip hasil riset Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Nanang menilai ada beberapa celah yang biasa dimanfaatkan petahana dan calon untuk menggunakan APBD sebagai modal politik. Yang pertama, melalui pemberian bantuan dana sosial dan dana hibah.
Dana bansos dan hibah merupakan sumber daya anggaran yang paling sering digunakan berkampanye. Dua pos anggaran tersebut cenderung dialirkan hanya kepada basis-basis pemilih yang condong kepada kubunya untuk kepentingan mempengaruhi pemilih dengan pembagian barang dan jasa.
Modus kedua yang biasa dilakukan adalah dengan membuat atau menempelkan para calon pada program-program populis Pemda menjelang Pemilu. Program populis yang biasanya berkaitan dengan kesehatan dan pendidikan itu cenderung mendadak dan tidak sesuai dengan rencana pembangunan daerah. Program ini sengaja disusun untuk mempengaruhi warga agar memilih sesuai kepentingan kelompok tersebut.
Modus ketiga yang biasa dilakukan adalah penyelewengan dana desa. Nanang mendapatkan laporan dari masyarakat mengenai potensi penyelewenangan dana desa untuk kepentingan Pemilu. Modusnya, ada desa yang belum mendapatkan dana desa dan akan segera dicairkan jika penduduk desa tersebut memilih kontestan tertentu.
Karena itu, Nanang menilai perlu dilakukan pengawasan dan investigasi terhadap para calon yang berpotensi menyalahgunakan APBD. Upaya ini dinilai perlu dilakukan untuk menyelamatkan politik anggaran sehingga hanya disusun atas kepentingan rakyat.(pram/hans)
