DNN, SIDOARJO – Transaksi pembelian lahan seluas 3 hektar yang dilakukan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Sidoarjo untuk pembangunan SMA Negeri di Desa Kedung Wonokerto Kecamatan Prambon dipastikan tanpa dilengkapi dengan Sertifikat Hak Milik (SHM).
Kepastian itu disampaikan Kepala Dikbud Sidoarjo, Tirto Adi yang dikonfirmasi melalui WA-nya beberapa hari lalu. Ia mengatakan pengadaan tanah tersebut sudah dilaksanakan sesuai ketentuan karena telah dilengkapi dengan bukti penguasaan lahan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
Tirto dalam chat WA-nya yang kemudian dihapus itu mengatakan bukti penguasaan lahan itu berupa SK Gogol Tetap yang dibuat oleh Pemerintah Desa Kedung Wonokerto yang telah disahkan oleh Bupati Sidoarjo dengan nomor NIB dan nomor peta bidang atas nama pemilik tanah.
Masih menurut Tirto, bukti lainnya yang dijadikan dasar transaksi jual beli pada tahun 2023 tersebut adalah SK Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo tentang pemberian hak milik atas nama pemilik lahan.
Pernyataan itupun disikapi Dimas Yemahura Alfarauq, praktisi hukum dari LBH Damar Sidoarjo yang dihubungi melalui telepon selulernya pada Kamis (15/08/2024) siang tadi. Menurutnya dalam sebuah transaksi jual beli lahan yang dilakukan pemerintah, termasuk Pemkab Sidoarjo harus didasari alas hak berupa SHM.
“SK Gogol Tetap dan juga SK Kepala Kantor Pertanahan itu bukan alas hak. Jadi apa dasar transaksi jual beli antara pemilik tanah dengan Dikbud tersebut. Ini yang perlu dipertanyakan lebih lanjut,” sergahnya.
Apalagi, tambahnya, transaksi itu tidak dilakukan dengan petani penggarap yang namanya tersurat dalam SK Gogol Tetap itu. Namun dengan pihak lain yang diketahui telah lebih dulu membeli lahan sawah tersebut dari petani.
“Yang perlu ditarik garis merahnya, karena sepertinya ada permainan di bawah tangan antara para pemangku kebijakan dengan pemilik modal untuk membeli lahan petani itu dengan harga murah yang kemudian dijual kembali ke Pemkab dengan nilai yang jauh lebih tinggi,” ujar Dimas tegas.
Menurutnya, masalah ini juga semakin terbuka setelah adanya pelaporan ke Polda Jatim atas obyek lahan tersebut. Dimana informasinya tanah milik petani gogol tersebut dibeli dengan harga Rp 13 Miliar. “Kalau tidak salah, nilai penjualan ke Dikbud mencapai Rp 25 Miliar,” tambah pengacara muda itu.
Karena itu seharusnya Aparat Penegak Hukum (APH) yang menangani kasus korupsi harus proaktif untuk menyikapi masalah ini. “Kalau kasus ini dibiarkan, bakal muncul pertanyaan publik, ada apa dengan APH kita?,” imbuhnya.
Ia menambahkan, munculnya kasus ini menunjukkan bahwa birokrasi di lingkungan Pemkab Sidoarjo tidak belajar dari kasus korupsi yang terjadi selama ini. Termasuk kasus yang menjerat tiga bupati Sidoarjo berturut-turut.(pram)